"Coba tunjukkan kepadaku, mana uang yang kau maksudkan itu?"
"Disini, oleh ibuku dijahit dibawah mantelku,"jawab Abdul Qadir dengan jujur sambil menunjukkan uang yang disimpan dijahitan bajunya.
Perampok itu tercengang dan terperanjat manakala mendengar dan memperhatikan ulah si kecil Abdul Qadir. Betapa si anak ini jujur sekali,sampai-sampai ia tak berdusta sedikit pun walau uangnya telah disimpan ibunya di jahitan baju. Orang itu sangat terharu dengan kepolosan dan kejujurannya.
Abdul Qadir kemudian dibawa dan dihadapkan kepada pimpinan perampok. Oleh pimpinan perampok ditanyai, dan si Abdul Qadir menjawab dengan jawaban yang serupa. Semua perampok yang hadir dan melihatnya merasa sangat kagum, hatinya bergetar dan perasaannya.
"Cobalah Nak kau ceritakan, bagaimana sehingga engkau bisa jujur seperti ini. Padahal kami hendak merampas uangmu itu!" kata pemimpin perampok.
"Menjelang keberangkatanku, ibuku yang sudah janda memberi bekal delapan puluh keping emas. Uang itu adalah peninggalan almarhum ayahku. Oleh ibuku dijahit dan disimpan di dalam bajuku agar tidak diketahui perampok atau hilang karena jatuh. Lalu ibuku berpesan agar aku selalu jujur tak boleh dusta walaupun dalam setiap keadaan. Makannya, ketika kalian tanya aku tak merahasiakan semua milikku yang tersimpan dan tersembunyi," kata Abdul Qadir bercerita.
Mendengar cerita dari Abdul Qadir, maka pimpinan perampok merasa terharu hatinya. Air matanya meleleh, ia menangis dan dengan tiada malu-malu ia berlutut di bawah kaki Abdul Qadir Jailani. Ia dan anak buahnya sadar bahwa kejujuran adalah sesuatu yang tiada dapat dinilai harganya, betapa sangat mahal. Mereka kemudian insyaf. Dan konon, para perampok itulah yang menjadi murid pertama kalinya kepada Abdul Qadir.
Baghdad di saat itu merupakan pusat peradaban di negeri Irak. Ibukota tersebut banyak dijumpai para budayawan, seniman, ilmuwan dan segala bidang dan utamanya ialah para ulama dalam ilmu agama. Oleh sebab itulah Abdul Qadir menuju kota ini untuk mendalami ilmu-ilmu agama yang selama ini dianggap masih menjadikan rasa haus pikirannya. Ketika sampai di Baghdad ia menuju ke tempat-tempat orang-orang ulama dan cendekiawan muslim. Ia bertemu banyak orang yang hampir dari mereka selalu berpikir dengan cara mistik, atau cara berpikir rohani. Akhirnya, Abdul Qadir bertemu dan berkenalan dengan seorang penjual sirup. Namanya Hammad. Hidupnya sehari-hari memang sebagai penjual sirup, tetapi Hammad sangat terkenal dan disegani karena dianggap sebagai wali terbesar di kota itu. Dari orang inilah Abdul Qadir menimba ilmu sebanyak-banyaknya tentang kerohanian.
Hammad kini telah menjadi guru Abdul Qadir Jailani. Selama berguru kepadanya, ia banyak mendapatkan ajaran-ajaran yang keras dan berat. Hammad memang dikenal sebagai seorang sufi yang keras pendidikannya dalam menuju kesucian rohani. Latihan-latihan yang dilakukan oleh Abdul Qadir memang cukup berat, namun dihadapinya dengan penuh semangat. Kenyataan itu dianggapnya sebagai sesuatu yang dapat menyempurnakan dan memperbaiki jiwanya.
Berkat Bimbingan wali Hammad, maka Abdul Qadir berhasil memiliki ilmu ma'rifat dan mengamalkannya dengan konsekwen. Kesibukannya dalam setiap waktu adalah belajar, berzikir, dan beribadah. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi segala sesuatu yang membuat keburukan. Ia berusaha membuat apa yang terbaik sesuai dengan tuntunan syariat agama. Kini ia menemukan dirinya sendiri secara rohani. Ia gemar bermusyahadah, yaitu penyaksian langsung terhadap kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hatinya. Akal pikirannya yang tajam dan cerdas memudahkan dirinya memecahkan persoalan tentang rahasia ciptaan Allah yang dilihat, dirasakan, dan didengarnya.
Kehidupannya penuh kesederhanaan bahkan ia gemar sekali berpuasa. Sering tidak makan, dan tak pernah meminta-minta kepada orang lain tentang sesuatu makanan. Kegemaran yang dilakukan itu membuat jiwanya semakin bersih dari noda-noda dunia. Semakin jelas jalan lurus yang dicari-carinya selama ini. Hampir setiap waktunya dihabiskan untuk shalat, membaca Alquran, belajar ilmu, berzikir, dan berpuasa. Karena kesibukannya yang demikian itu mengantarkan dirinya menjadi orang sufi dan mengiraukan kesenangan hidup di dunia. Tak mendambakan harta kekayaan dunia.
Abdul Qadir tak mencari harta kecuali sebagai bekal untuk menyambung hidupnya, untuk menguatkan perut dan tulang-tulangnya agar bisa tegak berdiri dalam shalat saja. Tak pernah ia memimpikan harta yang melimpah ruah sebagaimana kebanyakan didambakan orang.
Dia dikenal di Baghad sebagai seorang ahli ibadah dan sufi yang mumpuni. Kepribadiannya nan elok dihiasi dengan kesabaran, baik budi, dan tak pernah sedikit pun menyakiti hati orang lain. Dan berkat ketekunannya dalam beribadah serta otaknya yang cemerlang, maka ia cepat sekali dalam menyelesaikan pendidikan dan latihannya. Ia menjadi seorang ahli hukum atau syariat yang terkenal dan besar dimasa itu. | Bersambung | Ke Bagian 3 | By: Asep Saepudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar