Siapakah Abdul Qadir Jailani itu? Semenjak kecil kita telah mendengar nama itu, bahkan membesar-besarkanya, menghormatinya dan selalu mengirimkan dan mendoakan keselamatan, serta kesejahteraannya. Setiap mengaji dalam majelis, pimpinan atau pemuka ulama yang memimpin doa mengajak kita membaca Al fatihah yang konon dihadiahkan kepada Syekh Abdul Qadir Jailani.
Nama Abdul Qadir Jailani sudah bukan asing kedengarannya di telinga umat islam. Bahkan cerita kehebatannya, terutama kegaiban dan kesaksiannya sering kita dengar dari para mubaligh atau guru kita atau kyai kita rahimahumullah. Hanya itu memang! Dan tak banyak yang kita ketahui tentang pribadi maupun ajaran kebenarannya, yang menitik beratkan kepada mistik, kepada kerohanian.
Syekh Abdul Qadir Jailani adalah anak dari seorang yang bernama Abu Shalih. Abu Shalih dikenal sebagai orang yang tekun menjalankan ajaran agama. Menurut nasabnya, ia masih keturunan dari Imam Hasan ra. (Cucu pertama Nabi Muhammad saw). Ibu Abdul Qadir Jailani juga seorang wanita dari keturunan keluarga sufi. Maka tak heran, mereka melahirkan Syekh Abdul Qadir Jailani yang juga sufi dan masyhur itu.
Syekh Abdul Qadir Jailani dilahirkan oleh ibunya tepat di bulan Ramadhan tahun 470 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1077 Masehi. Kampung kelahirannya bernama Naif, Jailani, di negara Irak. Maka nama Jailani sebenarnya diambil dari nama daerah kelahirannya, sehingga dikenal sebagai Abdul Qadir Jailani. Sedangkan nama yang sebenarnya ialah Abu Muhammad Abdul Qadir.
Barangkali karena faktor keturunan dan lingkungan ahli ibadah, maka semenjak kecil Syekh Abdul Qadir ini tekun menjalankan ibadah. Ini berkat didikan dan bimbingan orangtuanya; yang taat beribadah itu. Kelakuannya si Abdul Qadir kecil ini tidaklah seperti anak-anak lainnya. Ia pendiam, sabar, tak banyak tuntutan kepada orangtuanya, sering merenung memikirkan ciptaan Allah. Satu hal lagi yang sangat menarik dari kepribadiannya ialah ia seorang anak yang sangat jujur.
Ketika masih kecil, ia sudah yatim karena ditinggal mati oleh ayahnya. Ibunya hidup menjanda dan dalam kesederhanaan. Abdul Qadir suka sekali belajar ilmu-ilmu agama di kampungnya. Karena selalu merasa haus dengan ilmu, dan rasa ingin tahu secara mendalam akhirnya ia meninggalkan kampungnya. Meninggalkan Naif. Abdul Qadir pergi ke ibukota, yaitu di Baghdad. Ia menganggap di Baghdad inilah ia bisa menyerap ilmu sebanyak-banyaknya.
Masih terlalu kecil memang, kira-kira usianya masih belasan tahun. Waktu itu ia pergi dititipkan bersama rombongan pedagang Jailan yang sama-sama ke Baghdad. Menjelang keberangkatannya, ia mendapat bekal dari ibunya yang sudah janda itu. Jumlahnya delapan puluh keping emas. Karena takut jika diperjalanan nanti bekal itu hilang atau diminta penjahat, maka oleh ibunya dijahitkan pada bagian bawah mantelnya. Persis di bawah ketiaknya. Uang yang diberikan oleh si Abdul Qadir kecil ini adalah warisan dari almarhum ayahnya. Diberikan kepadanya dimaksudkan untuk bekal jika dalam perjalanan atau di Baghdad nanti mendapatkan kesulitan.
Menjelang keberangkatannya, si Abdul Qadir mendapat beberapa wejangan atau pesan dari ibunya tercinta. Salah satu pesannya ialah sebagai berikut:
"Wahai Anakku Muhammad Abdul Qadir, aku berpesan kepadamu. Janganlah engkau berdusta, jangan berbohong dalam segala keadaan. Jujurlah terhadap siapapun juga," kata ibunya berpesan.
"Baik dan insya Allah, pesan ibunda akan ku laksanakan," jawab Abdul Qadir.
Berangkatlah Abdul Qadir bersama para pedagang dengan naik kereta kuda. Kendaraan dimasa itu yang sering dipakai oleh para pedagang untuk membawa barang-barangnya. Si kecil cikal bakal sufi itu meninggalkan ibunya yang di Naif Jailani. Hendak ke Baghdad mencari ilmu.
Kereta yang ditumpangi bersama para pedagang lainnya mengarungi lautan pasir. Akhirnya sampailah mereka di daerah Hamadan. Disitulah kereta diberhentikan oleh sekawanan perampok. Para penumpang dan pedagang yang ada dalam kereta disuruh turun. Para perampok menjarahi barang-barang para pedagang. Menggeleda disetiap jengkal dan mengambil barang yang dijumpainya. Hanya Abdul Qadir saja yang tak digeleda. Mungkin dianggap sebagai anak yang masih kecil, lagi pula pakaiannya yang compang camping. Tak mungkin mempunyai harta atau barang berharga.
Abdul Qadir hanya tercengang melihat ulah perampok yang tak berperi kemanusiaan itu. Selagi ia memperhatikan ulah mereka, ternyata ia pun diperhatikan oleh salah seorang kawanan perampok. Entah apa yang membuatnya tertarik sehingga salah seorang dari mereka (perampok itu) mendekati Abdul Qadir dan bertanya kepadanya.
"Hai, anak kecil, siapakah namamu?"
"Namaku Muhammad Abdul Qadir," jawab Abdul Qadir Jailani.
"Adakah engkau membawa atau mempunyai uang?"
"Ya, aku memiliki delapan puluh keping emas." | Bersambung Ke Bagian 2 | By: Asep Saepudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar