Sahabat Blog Asepsaepudinblogspotcom.blogspot.com | By: Asep Saepudin

Sahabat Blog Asepsaepudinblogspotcom.blogspot.com | By: Asep Saepudin

Sabtu, 16 Juli 2011

Religi | Kisah Syekh Abdul Qadir Jailani | Bagian 4 | By: Asep Saepudin

Demikianlah dua pengalaman yang pernah dialami oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dalam digoda Iblis. Benar dan tidaknya cerita ini tidaklah jadi soal, yang penting bagi kita ialah memetik makna dari cerita yang terkandung di dalamnya. Walaupun misalnya cerita itu hanya karangan belaka, namun mengandung nilai pelajaran, itu tidaklah melanggar syariat. Semoga kebenaran berada dalam sejarah hidup Syekh yang dimuliakan Allah ini.
Abdul Qadir Jailani semakin lama semakin menemukan jiwanya dan semakin mudah dirasakannya untuk bisa berhubungan dengan Allah. Kita sadari, orang yang sudah berada pada tingkatan kema'rifan maka mata hatinya menjadi jernih, kalbunya bersih. Apa yang dikerjakan dan dituturkan dalam kata-katanya merupakan suatu tindakan yang digerakan oleh Nur Ilahi. Maksudnya, sifat hewaninya sudah lenyap dan akal pikirannya mulia. Barangkali karena yang demikian itulah maka semua gerakannya, perbuatannya, dan kata-katanya bukan karena dorongan nafsu, tetapi karena dorongan rohaniahnya.
Disaat-saat Syekh Abdul Qadir Jailani mencapai puncak kesempurnaan ilmu ma'rifatnya. Baghdad dilanda krisis mental agama. Orang-orang muslim semakin lemah keyakinannya terhadap Islam. Mereka tak lagi mementingkan kehidupan akhirat, tetapi mengejar kemewahan harta dunia. Mereka banyak yang terlena oleh nafsunya sendiri. Ibadah yang dilakukan hanyalah sebatas syariat, dan dianggap bukan suatu ibadah yang suci, melainkan dianggap suatu kebiasaan dan budaya saja.
Pada saat-saat seperti ini Syekh Abdul Qadir Jailani bermimpi dalam tidurnya. Seolah-olah ia menelusuri jalan di Baghdad. Ia menjumpai seorang yang kurus kering dan lemas terbaring di tepi jalan. Orang yang sedang berbaring dengan lemas menyalaminya. Abdul Qadir pun membalas ucapan salamnya.
"Wahai Abdul Qadir Jailani, sesungguhnya akulah agama kakekmu, aku menjadi sakit, dan menderita, sengsara, dan tersiksa. Namun ternyata Allah telah membangkitkanku kembali melalui bantuanmu!" kata orang asing tersebut dalam mimpinya.
Mulailah Syekh Abdul Qadir Jailani mengadakan bimbingan kepada orang-orang. Masyarakat yang mendapatkan petunjuk sebagai muslim konsekwen memberi sebutan kepadanya sebagai 'Muhyiddin' yang artinya bahwa Syekh Abdul Qadir Jailani adalah pembangkit keimanan, pembangkit agama. Sebelas tahun kemudian setelah melakukan uzlah (mengasingkan diri), akhirnya ia terpanggil untuk kembali menjadi pelita di tengah-tengah masyarakat. Maka di sudut kota ia membangun sebuah pondok sangat sederhana sekali. Lalu membuka pengajaran dan menerima murid yang hendak berguru kepadanya tentang kerohanian.
Mula-mula yang datang untuk berguru dan menimba ilmu kerohanian (ma'rifat) sangatlah sedikit. Tetapi semakin bertambah dan bertambah terus. Orang-orang membantu Syekh untuk membangun sebuah madrasah. Syekh Abdul Qadir Jailani mengajarkan ilmu-ilmu agama yang murni, menghindari bid'ah dan riya'. Karena ia sangat terkenal sebagai seorang mursyid (guru) yang shalih, ilmunya yang mumpuni, akalnya yang jernih, dan ibadah syariatnya yang tekun maka nama Abdul Qadir Jailani tersiar menjadi terkenal. Yang datang ingin menimba ilmu agama semakin banyak, sehingga madrasah yang kecil tidak mencukupinya lagi.
Kira-kira tahun 528 Hijriyah, Syekh Abdul Qadir Jailani memperluas bangunannya demi menampung murid-murid yang semakin banyak berdatangan hendak berguru kepadanya. Bahkan ia membangun sebuah bangunan lagi yang ada mimbarnya, hal ini dengan tujuan untuk berceramah kepada umat yang membutuhkan dirinya. Ternyata hal itu kurang memadahi akhirnya dibangunlah sebuah musafirkhanah (wisma tamu). Mulai itulah Syekh Abdul Qadir menjadi sangat sibuk memberikan siraman rohani kepada umat. Ia mengatur waktu, yaitu untuk melakukan dakwah khusus pada hari Jum'at pagi. Selasa malam dan Rabu pagi.
Barangkali karena kesibukannya dalam menuntut ilmu, mencari jati diri dan mensucikan rohaniahnya serta tingkat kewara'annya, sehingga Syekh Abdul Qadir enggan untuk menikah. Semula ia menganggap bahwa perkawinan hanya akan menggangu pikirannya dan kesibukannya dalam mengabdi kepada Allah. Mungkin karena yang demikian itu sehingga sampai berusia lima puluh tahun ia belum menikah juga.
Akan tetapi demi mematuhi perintah Rasulullah dan untuk mengikuti sunnahnya, maka ia pun menikah. Ia mengawini wanita bukan karena dorongan atas nafsunya. Sekali-kali tidaklah demikian. Tujuannya hakiki, pertama untuk mengikuti sunnah Rasul dan yang kedua tujuannya ialah mendapatkan keturunan. Tepat usia 51 tahun, beliau menikahi empat wanita shalih sekaligus. Yakni pada tahun 521 Hijriyah. Dari perkawinannya, Syekh mempunyai empat puluh sembilan anak, yang dua puluh adalah laki-laki dan yang lainnya perempuan.
Dari sekian banyak keturunannya, ternyata yang sangat menonjol dan menjadi ulama besar ialah Syekh Abdul Wahab, Syekh Isa, Syekh Abdur Razaq, dan Syekh Musa. Semuanya menjadi wali dan ilmunya pun mumpuni. | Bersambung | Ke Bagian 5 | By: Asep Saepudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar